Jumat, 09 Mei 2014

Edisi Ke-6

HUTANG PIUTANG DALAM ISLAM


Oleh : Jenal Arifin, S.E.

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak manusia tidak terlepas dari hutang piutang. Adakalanya seseorang berhutang dan adakalanya seseorang memberikan pinjaman. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya dan hal itulah yang mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang. Islam menuntun kita dalam masalah ini agar disikapi sesuai syariat Islam agar membawa kebaikan dari apa yang kita lakukan, baik dalam berhutang maupun memberi pinjaman. Karena hutang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka.

     Hukum hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Sebagaimana firman Allah Swt:
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Rosululloh Saw juga bersabda: “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR  Ibnu Majah dari Ibnu Mas’ud).

Adapun hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan:
Dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi Muhammad Saw pernah berhutang. (HR. Bukhari & Muslim ).

     Namun meskipun berhutang itu diperbolehkan dalam syariat Islam, namun Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
 “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).


     Rasulullah Saw pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah Saw bersabda: “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim).
Maka dalam islam apabila ada orang yang meninggal dunia ahli waris tidak di perkenankan membagi waris,sebelum di bayarkan hutang-hutangnya. Ahli waris juga bertanggung jawab membayar hutang yang meninggal dunia.

     Tuntunan Islam berikutnya terkait dengan hutang adalah agar  mencatat dan mendatangkan saksi atas transaksi pinjam meminjam atau hutang-piutang yang kita lakukan agar tidak menimbulkan keraguan. Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya:
 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…. (QS. Al-Baqarah: 282)

     Orang yang berutang wajib segera membayar utangnya sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan, maka haram hukumnya menangguh-nangguhkan hutang ketika telah mampu membayar.
Apabila kita berhutang kita harus benar-benar berniat dan bersungguh-sungguh untuk membayar hutang, maka dengan demikian Allah juga akan memampukan kita untuk membayar hutangnya, sebagaimana sabda Rosululloh SAW yang berasal dari Abu Hurairah:

“ Siapa yang mengambil harta-harta manusia berkehendak untuk membayarnya, Allah akan membayar daripadanya dan siapa yang mengambil harta-harta manusia dan bekehendak untuk merugikannya, maka  Allah akan menjadikan orang yang berhutang itu menjadi rugi.

Pahala bagi pemilik harta yang dihutangkan adalah dengan menagih dan mengingatkan kepada yang berhutang dengan penuh kelembutan bila telah sampai pada waktu pembayarannya.

Bagi yang berhutang jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah ia membeitahukan kepada pihak yang memberikan pinjaman, hal ini merupakan bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah kita diam saja atau malah menghindar dari orang yang memberikan pinjaman karena hal tersebut tidak mengatasi masalah justru akan memperparah keadaan dan merubah hutang yang awalnya sebagai wujud kasih sayang berubah menjadi sebab permusuhan dan perpecahan.
Jika benar-benar mengalami kesulitan di perbolehkan bagi yang berhutang memohon agar diberi keringanan disamping tetap berusaha (berikhtiar) untuk membayarnya dan berdoa agar kita bisa membayar hutang kita. Diantara doa yang diajarkan Rosululloh SAW adalah :  

”AllaaHumma inni a’uudzubika minal Hammi wal hazani wa a’uudzubika minal ’ajzi wal kasali wa a’uudzubika minal jubni wal bukhli wa a’uudzubika minal ghalabatid dayni wa qaHrirrijaal 
Ya Allah sesungguhnya aku berlindung diri kepada Engkau dari kesusahan dan kedukaan, dari lemah kemauan dan rasa malas, dari sifat pengecut dan bakhil, dari banyak hutang dan kezaliman manusia.” ( HR Abu Dawud )

Siapa yang berdoa dengan doa yang di ajarkan Rosululloh Saw  ini Insya Allah ia akan mampu membayar hutangnya. Tentu tidak hanya dengan berdiam diri, tetapi dengan niat yang kuat dan  berusaha untuk menyelesaikan hutang-hutangnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar